Rabu, 23 November 2011

PENGEMBANGAN KURIKULUM 2

Drs. Khaerudin, M.Pd.
A. Pendahuluan
Akhir-akhir ini bangsa kita dikejutkan oleh klaim yang dilakukan oleh Malaysia berkenaan dengan sejumlah produk dan budaya yang sesungguhnya milik kita. Kita merasa tersinggung dengan ulah Malaysia tersebut. Sejumlah produk yang telah dicoba diklaim oleh Malaysia diantaranya kesenian Reog Ponorogo, Angklung,
Guru SD di Kotabumi Lampung
Guru SD di Kotabumi Lampung
Kuda Lumping, Lagu Rasa Sayange, dan yang paling menghebohkan Tari Pendet. Di samping itu ada sejumlah produk lain yaitu Batik, Wayang Kulit, Rendang Padang, dan Keris
Mengapa peristiwa ini terjadi? Semua barangkali sepakat karena Malaysia “dalam konteks” ini tidak punya etika, tidak punya malu, dan tidak berbudaya. Tapi problemnya adalah kalau kita menyikapi suatu permasalahan hanya melihat kelemahan dan kesalahan orang lain, apakah permasalahan tersebut akan teratasi secara tuntas? Dalam hal ini saya berpendapat “tidak” atau paling tidak “sulit”, karena kita akan mengalami kesulitan untuk mengubah sikap dan perilaku orang lain. Sikap yang paling bijak dan paling mudah menurut saya adalah kita melakukan introspeksi; kita mencoba mencari kelemahan-kelemahan yang terjadi pada diri kita, karena permasalahan yang muncul bisa jadi karena kesalahan dan kelemahan kita. Kalau kita mampu menemukan kelemahan dan menyadari kelemahan tersebut, maka sangat mungkin kita melakukan perubahan. Pola pikir seperti inilah barangkali yang dapat kita gunakan untuk menyikapi permasalahan di atas. Bisa jadi klaim yang dilakukan Malaysia atas sejumlah produk budaya kita disebabkan oleh kelemahan diri kita sendiri yang dimanfaatkan oleh mereka.
Kelemahan apa yang mungkin terjadi pada diri kita? Tentu banyak kemungkinannya, terlepas dari kelemahan yang teridentifikasi diakui sebagai kelemahan atau bukan. Tapi kalau kita mau maju tentu kita harus berani terbuka dan menerima kelemahan yang kita miliki. Dengan demikian maka kita tahu apa yang harus kita perbaiki dan dapat kita pikirkan bagaimana memperbaikinya. Salah satu yang paling mungkin penyebab peristiwa itu terjadi adalah karena selama ini kita sendiri tidak terlalu peduli dengan berbagai budaya tersebut.
Sikap acuh dan tidak terlalu peduli dengan budaya yang kita miliki yang ada pada diri kita bisa jadi merupakan hasil dari pendidikan yang kita alami selama ini. Pendidikan kita terlalu berorientasi pada penguasaan konsep, teori, atau fakta-fakta yang sering kali tidak bermakna, sehingga lupa dengan apa yang ada di sekitarnya. Padahal hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan di sekitar anak itulah yang akan lebih bermakna (meaningfull).
Kurikulum sekolah yang digunakan selama ini yang dikembangkan secara sentralistik, bisa jadi penyebab lain terjadinya anak-anak didik kita terasing dengan lingkungan lokalnya. Kurikulum sekolah tidak memberi kesempatan kepada anak didik kita untuk bereksplorasi dan bereksperimentasi mengembangkan segala sesuatu yang berada di daerahnya, termasuk berbagai budaya yang dimiliki di daerah mereka.
Dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diharapkan akan mengatasi permasalahan di atas. Dengan menerapkan KTSP berarti sekolah dapat mengembangkan kurikulum sesuai dengan karakteristik dan potensi daerahnya masing-masing. Permasalahannya adalah bagaimana agar kurikulum lokal ini (KTSP) dapat menghasilkan anak-anak didik yang memiliki akar budaya lokal yang kuat namun memiliki kompetensi yang tinggi untuk memasuki dan memenangkan persaingan bebas di era globalisasi.
Untuk menjawab permasalahan ini, penulis mencoba menguraikan sejumlah konsep dan gagasan di bawah ini.
B. Konsep Dasar Pengembangan Kurikulum
Istilah kurikulum bagi kita yang berkecimpung dalam dunia pendidikan tentu bukanlah suatu istilah yang asing. Hampir setiap hari kita mengatakannya atau paling tidak mendengar diucapkan oleh orang lain. Hal ini tidak heran karena kurikulum adalah sesuatu yang sangat berkaitan erat dengan dunia kita. Namun kalau kita coba tanya kepada beberapa orang diantara kita apa itu kurikulum, saya yakin kita akan mendapatkan pengertian, pemahaman, dan persepsi yang berbeda. Namun demikian, dari sejumlah pendapat yang ada, umumnya diantara kita memahami kurikulum adalah sebagai sebuah dokumen yang berisi daftar mata pelajaran dan menjadi rujukan dalam pelaksanakan pembelajaran.
Kalau kita merujuk ke sejumlah sumber, kata kurikulum ini memiliki banyak definisi, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks; ada definisi yang merujuk pada sebuah dokumen ada juga yang mengarah pada aktivitas. Dalam Kamus Webster’s (1857), misalnya, istilah kurikulum didefinisikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh para siswa untuk dapat naik kelas atau mendapat ijazah. Pengertian senada disampaikan oleh Robert Zais (1976) yang mengatakan kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang harus ditempuh oleh siswa untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau untuk memperoleh ijazah. Kedua definisi ini menekankan pada daftar mata pelajaran. Jadi apa yang disebut dengan kurikulum itu adalah deretan nama mata pelajaran bagi siswa kelas tertentu dan sekolah tertentu. Kalau kita mengatakan “kurikulum SD kelas 5″, maka yang terbayang dalam pikiran kita adalah nama-nama mata pelajaran yang harus dipelajari dan dikuasai oleh siswa kelas 5 untuk bisa naik ke kelas 6. Implikasinya adalah kalau kita akan mengembangkan kurikulum, misalnya kurikulum “SD Islam Terpadu”, maka yang akan kita pikirkan dan akan kita diskusikan adalah mata-mata pelajaran apa saja yang akan kita sajikan untuk dipelajari oleh siswa kita di SD Islam Terpadu tersebut.
Pertanyaannya adalah apakah dengan hanya mempelajari sederatan mata pelajaran yang telah ditetapkan, para siswa kita dapat menjadi manusia yang kita harapkan? Dengan kata lain, apakah untuk mendidik mereka menjadi manusia yang berkualitas cukup dengan hanya “mengajarkan” sejumlah pengetahuan (konsep, teori, prinsip, prosedur) yang telah tersusun dalam sebuah disiplin ilmu yang kita tetapkan? Apakah perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang selalu berkembang sudah tercakup dalam mata pelajaran yang telah kita tetapkan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mendorong para ahli lain memokuskan definisi kurikulumnya pada sudut pandang yang berbeda. William B. Ragan (1963), Beauchamp (1964), dan Harold B. Alberti Cs. (1965) mendefinisikan kurikulum menekankan pada aspek pengalaman dan kegiatan belajar siswa. Jadi yang mereka sebut kurikulum adalah semua pengalaman dan kegiatan belajar yang direncanakan oleh (guru) sekolah dan dialami siswa, baik itu yang dilaksanakan di kelas, di halaman sekolah, bahkan di luar sekolah sekalipun. Bisa jadi pengalaman dan kegiatan belajar yang dialami siswa ini tidak secara langsung berhubungan dengan suatu mata pelajaran tertentu, seperti kegiatan berkemah, pramuka, kelompok ilmiah remaja, dll.
Pengertian yang sejalan dengan pendapat di atas, namun lebih fokus, adalah definisi yang dikemukakan oleh Soedijarto, karena beliau menambahkan aspek tujuan pendidikan. Artinya semua pengalaman dan kegiatan belajar yang dirancang guru tersebut dikatakan kurikulum apabila semuanya itu relevan dan mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan dari lembaga tersebut. Dengan mengacu pada pengertian kurikulum yang dikemukakan oleh kelompok ini, maka pada saat kita bicara kurikulum, kita tidak hanya memikirkan pengalaman belajar yang sudah tersusun secara sistematis dalam bentuk mata pelajaran (disiplin ilmu tertentu), tetapi juga berbagai aktivitas lain, yang belum tercakup dalam disiplin ilmu tertentu selama aktivitas tersebut dinilai akan membantu siswa dalam menguasai tujuan pendidikan dari lembaga tersebut. Pengertian kurikulum ini relatif lebih dinamis, yang memungkinkan kurikulum itu secara cepat menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat dan iptek. Dengan kurikulum yang dinamis, memungkinkan sekolah menjadi lebih fleksibel dan dinamis, terus berkembang menyesuaikan perkembangan, yang pada akhirnya akan mengantarkan anak didiknya ke suatu kondisi yang lebih match dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan iptek. Dengan kata lain, sekolah menjadi tidak statis, yang hanya menyajikan pengalaman belajar (materi pelajaran) yang “itu itu saja”; kadaluarsa.
Pengertian kurikulum yang lebih luas dan komprehensif dikemukakan oleh J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller (1973) dan Alice Miel (1945). Ketiga ahli tersebut melihat kurikulum bukan hanya berkenaan dengan mata pelajaran dan kegiatan belajar, tetapi juga menyangkut sarana prasarana, metode, waktu, sistem evaluasi, dan administrasi supervisi. Mereka memandang semua hal tersebut termasuk dalam kurikulum, karena semuanya akan mempengaruhi perkembangan siswa. Bila kita mengacu pada pendapat Trump dkk. di atas, maka pada saat kita bicara kurikulum, kita akan membicarakan seluruh aspek yang akan mempengaruhi siswa belajar, dan yang akan mengantarkan para siswa kita menguasai kompetensi yang diharapkan. Dengan demikian yang harus kita pikirkan bukan hanya pengalaman belajar dalam bentuk materi pelajaran saja, tetapi juga sarana dan prasarana yang diperlukan siswa dalam menguasai kompetensi, metode yang digunakan dalam proses penguasaan kompetensi, sistem evaluasi yang akan digunakan, termasuk berbagai aturan yang akan diterapkan.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang disebut dengan kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu kurikulum sebagai sebuah dokumen yang berisi rencana pengalaman-pengalaman belajar yang akan dipelajari dan dikuasai oleh para siswa dalam rentang waktu tertentu atau disebut dengan kurikulum tertulis (written curriculum), dan kurikulum sebagai pengalaman dan kegiatan belajar yang dialami siswa secara nyata atau yang disebut dengan kurikulum nyata (real curriculum). Untuk mengembangkan kurikulum nyata diperlukan sejumlah faktor pendukung mulai dari bahan ajar, sarana prasarana, media/sumber belajar, metode, dan sistem evaluasi.
C. Prinsip Pengembangan Kurikulum
Untuk mendapatkan kurikulum yang bermakna, kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang tepat. Ada sejumlah prinsip pengembangan kurikulum, diantaranya prinsip relevansi, efektivitas dan efesiensi, fleksibilitas.
1. Prinsip Relevansi
Prinsip relevansi merupakan prinsip yang paling mendasar dalam sebuah kurikulum. Prinsip ini juga bisa dikatakan sebagai rohnya sebuah kurikulum. Artinya apabila prinsip ini tidak terpenuhi dalam sebuah kurikulum, maka kurikulum tersebut tidak ada lagi artinya; kurikulum menjadi tidak bermakna. Prinsip relevansi mengandung arti bahwa sebuah kurikulum harus relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), relevan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa, relevan dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakat (dunia kerja).
Suatu kurikulum harus relevan dengan perkembangan iptek artinya suatu kurikulum harus memuat sejumlah iptek yang terbaru (up to date) sehingga para siswa mempelajari iptek yang benar-benar terbaru yang memungkinkan mereka memiliki wawasan dan pemikiran yang sejalan dengan perkembangan jaman; Suatu kurikulum harus menyajikan pengalaman-pengalaman belajar yang sedang “digandrungi”, yang sedang hangat dibicarakan. Dengan demikian wawasan, pengetahuan, dan pengalaman belajar anak menjadi selalu sesuai dengan perkembangan iptek.
Suatu kurikulum juga harus relevan dengan karakteristik siswa maksudnya adalah suatu kurikulum harus sesuai dengan potensi intelektual, mental, emosional, dan fisik para siswa. Apabila kurikulum tersebut dilaksanakan menjadi sebuah riil kurikulum akan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki anak menjadi kompetensi yang diperlukan dalam melaksanakan tugas dan kehidupannya.
Terakhir, kurikulum juga harus relevan dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakat. Artinya sebuah kurikulum harus membekali para siswa dengan sejumlah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya, sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang baik; siswa pada saatnya dapat berkiprah dan berkompetisi dalam suatu masyarakat yang semakin kompetitif. Dalam konteks ini, paling tidak ada dua dimensi kondisi masyarakat yang harus benar-benar mendapat perhatian, pertama adalah kondisi masyarakat saat ini, dan kedua kondisi masyarakat di masa akan datang, dimana siswa akan menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Terkait dengan kondisi masyarakat saat ini, tuntutan relevansi ini untuk menjamin bahwa kurikulum yang dipelajari siswa akan memberi bekal kepada mereka untuk dapat hidup secara wajar dalam masyarakatnya. Siswa dapat beradaptasi dan berpartisipasi dalam lingkungan masyarakatnya. Sementara terkait dengan kondisi masyarakat yang akan datang, kurikulum diharapkan akan memberi kemampuan dasar untuk memungkinkan siswa dapat memasuki dunia nyatanya sebagai manusia, dimana dia harus berkiprah dalam masyarakat sebagai anggota masyarakatnya secara mandiri, dan terutama mereka harus memasuki dunia kerja yang harus dilakukannya dengan baik. Untuk itu para pengembang kurikulum harus mampu memprediksi dan mendapat gambaran yang jelas tentang kondisi masyarakat di masa yang akan datang pada saat anak-anak dapat dikatakan dewasa untuk memasuki dunianya. Berdasarkan gambaran tersebut dirancang kurikulum yang memberikan kemampuan-kemampuan dasar yang diperlukan dalam memasuki masyarakat tersebut.
Pada kurikulum tingkat pembelajaran, Israel Scheffler mengingatkan bahwa suatu kurikulum harus memenuhi tiga jenis relevansi, yaitu relevansi epistemologis, relevansi psikologis, dan relevansi sosiologis atau moral. Suatu kurikulum dikatakan memiliki relevansi epistemologis apabila kurikulum tersebut menuntut siswa secara aktif mencari, menemukan, merumuskan sendiri pengetahuan dan pengalaman belajar yang harus dikuasainya. Kurikulum seperti ini menuntut digunakannya berbagai pendekatan yang menuntut keterlibatan siswa secara langsung, baik secara fisik maupun mental, seperti pendekatan pembelajaran active learning, CBSA, discovery inquiry learning, juga tentunya Pembelajaran Aktif, Interaktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM).
Suatu kurikulum dikatakan memenuhi prinsip relevansi psikologis apabila kurikulum tersebut menuntut siswa terlibat secara mental dan intelektual (berpikir). Siswa terlibat dalam memecahkan berbagai persoalan yang dibahas, tertantang untuk mengajukan pendapat dan memberi masukan atas suatu persoalan. Kurikulum seperti ini akan terjadi apabila menerapkan pendekatan yang berbasis masalah. Pendekatan pembelajaran yang menggunakan pendekatan problem based learning, adalah contoh kurikulum yang memenuhi prinsip ini.
Sementara itu, kurikulum dikatakan memiliki relevansi sosiologis atau moral, apabila isi atau pengalaman belajar yang dipelajari siswa memiliki nilai dan manfaat (meaningfull), baik sebagai bekal untuk mengikuti proses pembelajaran berikutnya, terutama untuk memasuki masyarakat yang sesungguhnya.
2. Efesiensi dan Efektivitas
Prinsip efesiensi dan efektivitas terkait dengan cost yang akan digunakan dan hasil yang akan dicapai dalam implementasi kurikulum. Sebuah kurikulum dikatakan memenuhi prinsip efesiensi apabila kurikulum tersebut memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak terlalu besar. Semakin sedikit/kecil waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan dalam mengembangkan dan melaksanakan kurikulum, maka semakin efesien kurikulum tersebut. Namun penerapan prinsip ini jangan sampai mengabaikan prinsip efektivitas, karena seefesien apapun suatu kurikulum, tapi kalau tidak efektif, juga tidak ada artinya. Prinsip efektivitas terkait dengan besarnya atau banyaknya tujuan kurikulum yang dicapai. Semakin banyak tujuan pendidikan yang dicapai melalui proses pembelajaran (implementasi kurikulum), maka dikatakan kurikulum tersebut efektif.
3. Fleksibilitas
Prinsip fleksibilitas terkait dengan keluwesan dalam tahap implementasi kurikulum. Penerapan prinsip fleksibilitas dalam kurikulum adalah bahwa suatu kurikulum harus dirancang secara fleksibel/luwes sehingga pada saat diimplementasikan memungkinkan untuk dilakukan perubahan untuk disesuaikan dengan kondisi yang ada yang tidak terprediksi saat kurikulum tersebut dirancang. Contoh yang paling sederhana adalah pada saat sebuah kurikulum dirancang, pembelajaran akan dilaksanakan dengan menggunakan media LCD projector atau OHP/OHT. Namun pada saat hari H, terjadi pemadaman listrik di lokasi. Bagi kurikulum yang memenuhi prinsip fleksibilitas kondisi ini tidak menghambat keberlangsungan pembelajaran. Dengan sedikit melakukan perubahan pada aspek media yang digunakan pembelajaran tetap dapat berlangsung namun tetap mengarah pada pencapaian tujuan yang diharapkan.
D. KTSP Sebagai Kurikulum Lokal
Sebagaimana kita ketahui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan dengan mengacu kepada sejumlah aturan perundangan mulai dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi, Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas No. 24/2006 dan No. 6/2007 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23/2006. Sementara dilihat dari aspek politis, lahirnya KTSP didorong oleh adanya keinginan untuk memberi kebebasan kepada masing-masing wilayah bahkan sekolah untuk mengembangkan kurikulumnya sendiri yang sesuai (relevan) dengan potensi, perkembangan, dan kebutuhan siswa dan lingkungannya.
Kebijakan diterapkannya KTSP juga didorong oleh adanya tuntutan yang kuat dari masyarakat untuk mendapatkan otonomi dalam pengembangan dan pengelolaan pendidikan, yang secara otomatis termasuk di dalamnya menyangkut aspek kurikulum. Dengan kata lain, dengan KTSP telah dilakukan desentralisasi pengembangan kurikulum, yang selama ini dilakukan oleh pusat kurikulum secara sentralistik sekarang diserahkan kepada wilayah masing-masing, bahkan kepada tingkat satuan pendidikan (sekolah).
Dengan menerapkan KTSP diharapkan setiap sekolah paling tidak suatu daerah dapat benar-benar memperhatikan kondisi daerahnya masing-masing, baik kondisi lingkungan fisik, sosial, maupun budayanya. Mereka dapat melestarikan dan mengembangkan berbagai budaya daerahnya dengan memasukkannya sebagai bagian dari kurikulum, apakah itu dijadikan sebagai isi / materi yang secara khusus dipelajari dalam bentuk mata pelajaran maupun hanya sebagai sumber belajar. Sekolah dapat menjadikan lingkungan fisik dan sosialnya sebagai sumber belajar yang sangat kaya, untuk memudahkan siswa dalam memahami konsep-konsep disiplin ilmu tertentu, dan sekaligus mengenalkan siswa dengan lingkungannya, agar mereka tidak terasing dengang lingkungannya. Lebih jauh tentunya melalui KTSP, kita memberi bekal kemampuan (pengetahuan, keterampilan dan sikap) yang dibutuhkan oleh lingkungan sekitar, sehingga pada akhirnya siswa dapat berkiprah dan berpartisipasi dalam melakukan pembangunan daerahnya; mereka menjadi putra daerah yang tidak perlu berurbanisasi untuk mencari pekerjaan ke tempat lain (kota), karena mereka dapat bekerja di daerahnya masing-masing.
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (PP No. 19/2005). Artinya KTSP yang disusun oleh suatu sekolah bisa berbeda dengan KTSP sekolah lain, karena masing-masing sekolah memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, KTSP bisa juga disebut sebagai kurikulum lokal. Hal ini juga ditunjukkan oleh prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam pengembangan KTSP, yang diantaranya berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan siswa dan lingkungannya; Beragam dan terpadu; Relevan dengan kebutuhan kehidupan; dan Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
E. Perubahan Global Sebagai Acuan Pengembangan Kurikulum
Tidak bisa dipungkiri perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) khususnya teknologi informasi dan komunikasi yang didukung oleh kecanggihan teknologi komputer, membuat dunia terus berubah, semakin hari semakin terasa menyempit; Keadaan yang terjadi di suatu daerah dalam waktu yang hampir bersamaan bahkan dalam waktu yang bersamaan dapat diketahui dan disaksikan di daerah lainnya. Berbagai peristiwa bisa kita saksikan dengan hanya membuka komputer yang terakses dengan internet, atau sebuah blackberry dan bahkan handphone di tangan. Benar-benar dunia saat ini ada di dalam genggaman.
Dengan kondisi seperti ini maka arus informasi semakin tidak terbendung. Arus informasi terus mengalir ke sekeliling kita baik informasi yang bermanfaat maupun informasi-informasi yang menyesatkan (sampah). Dengan membanjirnya informasi ke dalam lingkungan kita, apakah kita telah memiliki kemampuan untuk membendung, memilah dan memilih, mana informasi yang berguna dan mana yang tidak berguna. Sebab apabila kita tidak memiliki benteng yang kuat, bisa jadi penetrasi budaya asing yang negatif akan dengan mudah merasuki dan merusak budaya kita yang selama ini kita banggakan.
Secara umum kondisi seperti di atas disebut dengan era globalisasi, yaitu suatu era dimana terjadi saling keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lainnya sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Hal di atas juga sejalan dengan pengertian globalisasi yang dikemukakan oleh Peter Drucker. Ia mengatakan bahwa globalisasi adalah sebagai zaman transformasi sosial (Wikipedia.org).
Fenomena globalisasi ini dari hari ke hari terus berkembang. Hal ini ditandai dengan:
• Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
• Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
• Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
• Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain. (Wikipedia.org)
Secara lebih khusus, ciri-ciri globalisasi yang patut kita perhatikan adalah globalisasi dalam bidang budaya dan ekonomi. Globalisasi dalam bidang budaya, misalnya, ditandai dengan:
• Berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
• Penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
• Berkembangnya turisme dan pariwisata.
• Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
• Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.
• Bertambah banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA
Sementara itu menurut Tanri Abeng globalisasi dalam bidang ekonomi akan terjadi dalam bentuk:
• Globalisasi produksi
• Globalisasi pembiayaan
• Globalisasi tenaga kerja
• Globalisasi jaringan informasi
• Globalisasi Perdagangan
Mencermati karateristik era globalisasi yang telah dan akan dimasuki oleh kita dan anak-anak kita, ternyata era globalisasi tersebut memiliki kebaikan dan sekaligus keburukan. Diantara kebaikan dari era globalisasi adalah:
• Produksi global dapat ditingkatkan
• Meningkatkan kemakmuran masyarakat dalam suatu negara
• Meluaskan pasar untuk produksi dalam negeri
• Dapat memperoleh lebih banyak modal dan teknologi yang lebih baik
• Menyediakan dana tambahan untuk pembangunan ekonomi
Sementara keburuhan dari era globalisasi, diantaranya adalah:
• Menghambat pertumbuhan sektor industri
• Memperburuk neraca pembayaran
• Sektor keuangan semakin tidak stabil
• Memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang
Lebih khusus lagi bagi kita bangsa Indonesia, sebagai dampak dari era globalisasi ini, mau tidak-mau suka tidak-suka, kita telah menyepakati sejumlah kesepakatan berkenaan dengan globalisasi dalam bidang ekonomi, seperti APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation atau Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik) dan AFTA (ASEAN Free Trade Area atau kawasan perdagangan bebas ASEAN) . Melalui AFTA, sejak tahun 2002 lalu, kita telah memasuki era pasar bebas diantara negara-negara Asia Fasifik. Sedangkan melalui APEC negara kita akan mengikuti persaingan bebas dalam bidang ekonomi diantara negara-negara anggotanya sedunia yang akan dimulai pada tahun 2020. Dengan mengimplementasikan kedua bentuk perjanjian ini, masyarakat dan bangsa kita akan dihadapkan pada dua alternatif situasi yang berbeda, bergantung pada seberapa jauh kesiapan kita. Situasi yang pertama adalah kita akan mendapatkan pasar yang semakin luas, karena kita dapat memasarkan semua bentuk barang dan jasa kita ke seluruh negara anggota AFTA dan APEC. Kalau ini dapat diraih tentu akan memberi manfaat yang besar bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat kita. Kondisi ini akan diraih kalau barang dan jasa yang kita hasilkan dapat bersaing dan memenangkan persaingan dengan barang dan jasa dari negara-negara pesaing kita. Tapi kalau kondisi sebaliknya yang terjadi, dimana barang dan jasa kita tidak mampu bersaing, maka jangankan bisa memperluas pasar ke negara lain, malah justru pasar domestik sendiri akan direbut oleh produk dan jasa yang datang dari luar. Itu berarti pasar kita justru semakin sempit dan sulit. Itu berarti akan berakibat pada kondisi kesejahteraan masyarakat kita pun akan terganngu.
Jadi problem kita yang sesungguhnya adalah bagaimana kita bisa memenangkan persaingan di era global tersebut? Bagaimana kita dapat memanfaatkan kelebihan kondisi global itu untuk meningkatkan kesejateraan dan kejayaan masyarakat dan bangsa kita? Logika yang paling sederhana untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah kita harus memenangkan persaingan diantara negara-negara AFTA dan APEC. Kita harus mampu menghasilkan barang dan jasa yang inovatif dan kompetitif, baik dalam hal kualitas, kuantitas, maupun harga. Untuk menghasilkan barang dan jasa seperti itu diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas . Untuk menghasilkan SDM yang berkualitas diperlukan pendidikan dan pembelajaran yang berkualitas. Ujungnya adalah kurikulum yang digunakan oleh lembaga pendidikan kita harus berkualitas, khususnya kurikulum pada dimensi nyata. Logika seperti ini yang diajukan oleh John F. Kennedy pada saat Amerika kalah dari Rusia yang berhasil meluncurkan roket Sputnik ke Luar Angkasa pada tahun 1960-an. Saat itu Kennedy mengajukan pertanyaan “apa yang terjadi dengan kelas kita? Artinya, Kennedy melihat kekalahan itu sebagai akibat dari proses pembelajaran di kelas yang bermasalah, dan ujung tombak untuk mengejar ketertinggalannya harus dimulai dari kelas.
F. Kurikulum Berbasis Lokal Berwawasan Global
Kurikulum seperti apa yang berkualitas? Sesungguhnya tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Namun secara umum sebuah kurikulum dikatakan baik apabila ia mampu memfasilitasi dan menstimulasi potensi yang dimiliki siswa agar menjadi kompetensi yang dapat digunakan untuk membangun lingkungannya di era global. Kurikulum yang mampu menghasilkan siswa yang kreatif dan inovatif, mampu mengangkat potensi diri siswa dan daerahnya menjadi sesuatu yang bernilai tambah. Kurikulum yang mampu mendidik siswanya menghadapi tantangan globalisasi dan mengelolalnya sedemikian rupa sehingga menjadi peluang untuk mendapatkan manfaat yang besar dari kondisi tersebut. Ini artinya sebuah kurikulum yang baik harus memperhatikan minimal tiga aspek, yaitu potensi siswa, kondisi lingkungan lokal, dan kondisi lingkungan global.
Potensi yang dimiliki siswa merupakan modal utama dalam pendidikan. Pendidikan yang kita laksanakan sesungguhnya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anak didik menjadi kompetensi. Falsafahnya adalah siswa belajar bukan untuk menjadi orang yang serba tahu; bukan untuk menjadi kamus berjalan; bukan menjadi robot, tapi untuk menjadi dirinya sendiri dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Oleh karena itu, kurikulum yang kita kembangkan harus memberi kesempatan kepada semua siswa untuk menjadi dirinya sendiri, dan men-triger potensi mereka agar berkembang, sehingga mereka menjadi manusia yang utuh, yang berbeda dengan yang lain namun tetap memiliki kekuatan/kompetensi yang dapat diandalkan. Ingat! peradaban manusia ini berkembang karena kerja mereka yang memiliki “kelainan” dalam hidupnya; Mereka yang berani “tampil beda”.
Di samping bertujuan mengembangkan potensi siswa menjadi kompetensi, pendidikan juga harus mampu mendidik dan mempersiapkan siswa menjadi manusia yang mampu berkiprah di dalam masyarakatnya. Untuk itu, maka setiap individu harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang seluk beluk daerah asal dan sekitarnya, agar mereka tahu betul akan sejarah, kebutuhan, dan karakteristik daerahnya. Dalam konteks Provinsi Lampung, misalnya mereka dikenalkan dengan sejarah masih-masing kota yang ada di Provinsi Lampung, yang tentunya memiliki karakteristik yang berbeda; Dikenalkan mengapa Provinsi Lampung dijuluki Provinsi “Sang Bumi Ruwai Jurai”, dan berbagai simbol budaya yang penuh makna dan menunjukkan kekayaan kebudayaan Lampung, seperti Lamban Dalom Kebandaran Marga Balak, Lambahana atau Nuwou Sesat atau Nuwou Bantaian, Rang Ngaji atau Pok Ngajei, serta Lamban Pamanohan. Tidak kalah pentingnya mengenalkan dan melatih siswa untuk menguasai bahasa dan aksara daerah. Semua pengetahuan ini harus dijadikan sebagai bahan kajian dan sumber belajar bagi para siswa, menjadi isi kurikulum dengan tujuan di samping untuk melestarikan berbagai budaya tersebut, juga untuk menumbuhkan rasa bangga akan daerahnya yang merupakan bagian dari NKRI.
Setiap individu juga harus memiliki nilai, falsafah, norma, dan adat-istiadat yang berlaku di daerah dan sekitarnya, agar mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara harmonis. Kondisi ini penting untuk dapat membangun masyarakat menuju suatu masyarakat yang diinginkan. Falsafah Piil Pasenggiri yang luhur harus diupayakan benar-benar tertanam dalam jiwa setiap individu dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena dengan falsafah ini akan terbangun masyarakat yang terbuka dalam pergaulan (Nengah Nyappur), terbuka tangan, murah hati dan ramah pada semua orang (Nemui Nyimah), bernama, bergelar, saling menghormati (Berjuluk Beadek), dan juga masyarakat yang suka bergotong royong dan tolong menolong (Sakai Sambayan). Sungguh nilai-nilai kehidupan yang luhur. Sekolah memiliki tanggung jawab untuk melestarikan dan menanamkan nilai-nilain falsafah tersebut kedalam setiap jiwa para siswanya dan terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah setiap individu juga harus memiliki berbagai keterampilan yang dibutuhkan oleh daerahnya, baik keterampilan yang berhubungan dengan tuntutan pekerjaan, maupun keterampilan dalam menggunakan berbagai peralatan kesenian. Semua kondisi ini diperlukan agar setiap individu dapat berpartisipasi dan bahkan mengabdikan dirinya bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat sekitarnya.
Siswa, di samping sebagai makhluk individu, ia juga sebagai makhluk sosial. Di lihat dari sejarahnya, pendidikan formal seperti sekolah lahir karena para orang tua sudah tidak mampu lagi membekali anak-anak mereka untuk dapat hidup dalam masyarakat yang semakin kompleks. Mereka membutuhkan bantuan orang lain (guru) yang dianggap mampu mempersiapkan anak-anak mereka melaksanakan tugasnya sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Maka lahirlah institusi sekolah. Oleh karena itu fungsi itu tidak boleh diabaikan. Artinya, kita para pendidik di sekolah mempunyai tanggung jawab untuk mempersiapkan anak didik kita agar mampu hidup dalam masyarakatnya secara harmonis dan produktif. Untuk itu maka kurikulum yang digunakan sekolah harus berorientasi kepada karakteristik lingkungan dimana anak-anak didik kita hidup, agar mereka mempelajari, memahami, dan menguasai berbagai aspek kehidupan di lingkungannya; mereka diharapkan dapat menjaga sikap dan perilakunya secara harmonis dengan lingkungannya; mereka tidak menjadi terasing dengan lingkungannya; mereka dapat memanfaatkan potensi lingkungannya menjadi kekuatan yang memiliki nilai tambah yang tinggi dan memiliki kemampuan bersaing yang kuat menghadapi tantangan global. Dengan kata lain kurikulum harus mampu memberi pengalaman belajar dan kemampuan para siswanya untuk mengembangkan berbagai budaya daerah menjadi kekuatan ekonomi yang siap berkiprah di era global. Berbagai budaya daerah Lampung yang berpotensi untuk dikembangkan adalah budaya dalam bentuk produk, seperti: kain Sarat, kain Tapis, Topi Sulam Usus; budaya dalam bentuk kesenian, seperti Tala (Talo Balak), Tari Sembah, Sastra lisan dan tulisan; juga tidak kalah menariknya budaya kuliner dan keindahan alam (cagar budaya).
Lebih jauh setiap siswa di samping sebagai anggota masyarakat sekitarnya (lokal) juga sebagai anggota masyarakat yang lebih luas yaitu masyarakat global. Oleh karena itu, suatu kurikulum dikatakan berkualitas apabila kurikulum tersebut mampu mempersiapkan siswanya menjadi anggota masyarakat global yang siap bersaing. Ini artinya, kurikulum harus memberi kemampuan kepada para siswa yang diperlukan untuk dapat hidup dan bersaing di dalam era global. Pertanyaannya adalah kemampuan apa yang harus dikembangkan pada siswa untuk memasuki era global? Tentu kemampuan yang dikembangkan harus merujuk kepada karakteristik era globalisasi, diantaranya yaitu:
• kemampuan menahan penetrasi budaya negatif yang diakibatkan oleh berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional, turisme dan pariwisata, dan berkembangnya mode yang berskala global, seperti film, dll. Dalam konteks ini setiap individu harus memiliki ketahanan spiritual dan ketahan budaya yang kokoh sebagai benteng dalam mencegahnya.
• kemampuan untuk memenangkan persaingan dalam bidang ekonomi sebagai akibat dari terjadinya globalisasi dalam bidang produksi, pembiayaan, jaringan informasi, dan juga perdagangan. Dalam konteks ini, di samping kemampuan untuk menghasilkan produk dan jasa yang mampu bersaing, yang tidak kalah pentingnya adalah mampu menghasilkan produk dan jasa yang berbasis lokal untuk tampil sebagai produk dan jasa yang baru (inovatif). Pengembangan berbagai kerajinan yang berasal dari Sulaman Usus dan Kain Tapis adalah diantara produk lokal yang sangat inovatif dan kompetitif. Pengembangan wisata kuliner, seperti Pindang, Martabak Kentang, dan Empek-empek, serta wisata budaya dan alam yang menjadi ciri khas Lampung seperti Taman Nasional Way Kambas, sebagai Pusat Latihan Gajah.
• Kemampuan bersaing dalam memperebutkan pasar kerja, terutama pasar kerja di negara-negara anggota AFTA dan APEC. Dalam konteks ini yang diperlukan adalah anak-anak didik kita yang memiliki pengetahuan, skill, dan sikap yang berskala global. Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi merupakan salah satu kompetensi yang tidak bisa diabaikan. Di samping itu penguasaan bahasa internasional, khususnya bahasa Inggris juga menjadi prasarat untuk dapat memperebutkan pasar kerja di negara-negara AFTA dan APEC. Sikap dan perilaku manusia modern, seperti disiplin, menghargai waktu, dan komit terhadap tugas, adalah diantara sikap yang harus dikembangkan.
G. Penutup
Tantangan di masa depan yang akan dihadapi anak-anak kita merupakan tantangan yang sangat berat. Era globalisasi yang salah satunya ditandai oleh era persaingan bebas yang ketat dalam berbagai aspek kehidupan merupakan era yang tidak bisa dihindari. Era globalisasi adalah suatu kenyataan. Era globalisasi bisa menjadi berkah, tapi bisa juga menjadi musibah. Bergantung pada kesiapan anak-anak kita dalam memasukinya.
Sekolah sebagai salah satu institusi sosial bertugas menyiapkan anak-anak didik kita untuk siap dan berkemampuan dalam memasuki era globalisasi. Kurikulum dan berbagai pengalaman belajar yang dialami anak di sekolah harus memberi bekal (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) yang relevan untuk bisa hidup dan sekaligus memenangkan kompetisi yang sangat ketat.
Penggalian, pengembangan, dan pemanfaatan potensi daerah (lokal) merupakan salah satu kekuatan alternatif yang bisa diberikan kepada anak-anak kita dalam menghadapi era global. Karena dalam memasuki era global kita bukan hanya harus mampu menawarkan produk dan jasa yang kompetitif, tetapi yang paling penting adalah mampu menghasilkan produk dan jasa yang inovatif, yang belum pernah ada dan belum dimiliki oleh pihak lain.
Oleh karena itu pengembangan kurikulum sekolah harus berbasis pada budaya daerah dengan memperhatikan karakteristik globalisasi. Kurikulum harus menjadikan potensi daerah sebagai sumber belajar dalam upaya mempertahankan eksistensi budaya tersebut juga menjadikan budaya tersebut sebagai komoditas ekonomi yang unggul.
Daftar Rujukan
Drake, Susan M., Creating Standards-Based Integrated Curriculum. California: Corwin Press, Inc., 2007
Soedijarto, Pendidikan sebagai Sarana Reformasi Mental dam Upaya Pembangunan Bangsa. Jakarta : Balai Pustaka, 1998
———, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2008
Sleeter, Christine E., Un-Standardizing Curriculum, Multicultural Teaching in the Standard-Based Classroom. Teachers College, Columbia University, 2005
Ralph W. Tyler, Basic Priciples of Curriculum and Instructional. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1949
W.B. Ragan, Modern Elementary Curriculum. New York : Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1962
http://id.wikipedia.org/wiki/Lampung#Seni_dan_budaya
http://www.google.co.id/#hl=id&q=budaya%2Blampung&meta=&fp=fb5226a5e856d2a1
http://www.indonesiamedia.com/2005/10/early/budaya/images/lampung/tapis_raja_tunggal_alt.jpg
http://dewey.petra.ac.id/dgt_res_detail.php?knokat=3923
http://ululalbablampung.com/siswa-sdit-ulul-albab-berkunjung-ke-museum-lampung/
http://hipmala.files.wordpress.com/2008/03/lampung1.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWeCBmcHRuJjG274WAixVzRrOQr1eyhNY0gIENBA8H_DsWr_rtL1vnJeGbotgDEUrAaRLfKtTiYKSA_8rs0D4O0TDwvAsEdGi1NmUKwt_MuWBXHM75jRgp40xvS1qCBY8Bt2Oxb66VKv8/s320/AKSARA+LAMPUNG.jpg
http://antoys.files.wordpress.com/2009/03/budaya0302-5lampung.jpg
Popularity: 47% [?

PENGEMBANGAN KURIKULUM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Deskripsi singkat tentang kurikulum apa saja yang pernah dikembangkan dalam program pendidikan di negeri tercinta Indonesia. Salah satu konsep terpenting untuk maju adalah “melakukan perubahan”, tentu yang kita harapkan adalah perubahan untuk menuju keperbaikan dan sebuah perubahan selalu di sertai dengan konsekuensi-konsekuensi yang sudah selayaknya di pertimbangkan agar tumbuh kebijakan bijaksana. Ini adalah perkembangan Kurikulum Pendidikan Kita.
Konsep terpenting yang perlu mendapatkan penjelasan dalam teori kurikulum adalah konsep kurikulum. Karena kurikulum dapat sebagai suatu subtansi, suatu kurikulum dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai.
Konsep kedua kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem kurikulum yang merupakan bagian dari sistem persekolahan, pendidikan bahkan sistem masyarakat.
Konsep yang terakhir kurikulum sebagai suatu bidang study kurikulum yang merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran.
Model konsep kurikulumpun berlainan macamnya, yang semua itu berasal dari teori pendidikan, yang termasuk model atau konsep kurikulum meliputi kurikulum humanistic dan rekontruksi sosial. Untuk lebih jelasnya dalam makalah ini akan dibahas lebih terperinci lagi tentang kurikulum humanistic dan rekontruksi sosial.
B. Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan kurikulum?
2.      Program kurikulum pendidikan apa saja yang telah dikembangkan di Indonesia?
3.      Bagaimana konsep dari kurikulum pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kurikulum
Perkataan kurikulum dikenal sebagai suatu istilah dalam dunia pendidikan sejak kurang dari satu abad yang lampau. Perkataan ini belum terdapat dalam kamus Webster tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamusnya tahun 1856.
Artinya pada waktu itu artinya ialah:
  1. A race course ; a place for running ; a chariot.
  2. A courase in general ; applied particulary to the course of study in a university.
Jadi dengan “kurikulum” dimaksud jarak yang harus di tempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan, dari awal sampai akhir. “kurikulum” juga berarti “chariot” semacam kereta pacu pada zaman dahulu, yakni suatu alat yang membawa seseorang dari “start” sampai “finish”.
Disampaing penggunaan “kurikulum”  semula dalam bidang olah raga, kemudian dipakai dalam bidang pendidikan, yakni sejumlah mata kuliah di perguruan tinggi.
Di Indonesia istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi popular sejak tahun lima puluhan yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di America serikat. Sebelumnya yang lazim digunakan ialah “rencana pelajaran” pada hakikatnya kurikulum sama artinya dengan rencana pelajaran.
Dalam teori praktik, pengertian kurikulum yang lama sudah banyak ditinggalkan. Para ahli-ahli pendidikan kebanyakan memberi arti atau istilah yang lebih luas.
Perubahan ini terjadi karena ketidakpuasan dengan hasil pendidikan di sekolah dan ingin selalu memperbaiki.
Selain itu yang mempengaruhi perubahan dari makna atau arti kurikulum adalah perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat mengubah perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Disamping itu banyak timbul pendapat-pendapat baru, tentang hakikat dan perkembangan anak, cara belajar, tentang masyarakat dan ilmu pengetahuan yang memaksa diadakannya perubahan dalam kurikulum. Pengembangan kurikulum adalah proses yang tak hentinya, yang harus dilakukan secara kontinu.
Namun, mengubah kurikulum bukanlah pekerjaan yang mudah, praktek pendidikan disekolah senantiasa jauh ketinggalan bila dibandingkan dengan teori kurikulum. Bukan suatu yang aneh. Bila suatu teori kurikulum baru menjadi kenyataan setelah 50 sampai 75 tahun kemudian.
Dengan bertambahnya tanggung jawab sekolah timbulah berbagai macam definisi kurikulum, sehingga semakin sukar memastikan apakah sebenarnya kurikulum itu.  Akhirnya setiap pendidikan, setiap guru harus menentukan sendiri apakah kurikulum itu bagi dirinya. Pengertian yang dianut oleh seseorang akan mempengaruhi kegiatan belajar mengajar dalam kelas maupun diluar kelas.
Dibawah ini beberapa kurikulum menurut beberapa kurikulum menurut beberapa ahli kurikulum.
1.      J. Galen Taylor dan William M. Alexander dalam buku curriculum planning for better teaching and learning (1956). Menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut “segala usaha untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruang kelas, di halaman sekolah atau diluar sekolah termasuk kurikulum.
Kurikulum meliputi juga apa yang disebut kegiatan extra kurikuler
2.      Harold B. Albertycs. Dalam reorganizing the high school curriculum (1965). Memandang kurikulum sebagai “all school”. Seperti halnya dengan definisi saylor dan Alexander, kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan diluar kelas, yang berada dibawah tanggung jawab sekolah.
3.      B. Othanel Smith, w.o. Stanley, dan J. Harjan Shores. Memandang kurikulum sebagai “a sequence of potential experience set up in the school for the purpose of diseliping ehildren and youth in group ways of thinking and acthing”. Mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka  dapat berfikir dan berbuat sesuai dengan masyarakatnya.
4.      William B Ragan, dalam buku modern elementary curriculum (1966) menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut:
Ragan menggunakan kurikulum dalam arti luas, yang meliputi seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak dibawah  tanggung jawab sekolah.
Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pelajaran tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan social antara guru dan murid, metode pembelajaran, cara mengevaluasi termasuk kurikulum.
5.      J. Lloyd Trump dan Dalmes F. Miller dalam bukunya secondary school improfement (1973). Juga menganut definisi kurikulum yang luas, menurut mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervise dan administrasi dan hal-hal structural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran.
6.      Alice Miel juga menganut pendirian yang luas mengenai kurikulum. Dalam bukunya changing the curriculum : a social process (1946) ia mengemukakan bahwa kurikulum juga meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan, pengetahuan dan sikap orang-orang melayani dan dilayani sekolah, yakni anak didik, masyarakat, para pendidik, dan personalia. Definisi Miel tentang kurikulum  sangat luas yang mencakup yang meliputi bukan hanya pengetahuan, kecakapan, kebiasaan-kebiasaan, sikap, aspirasi, cita-cita serta norma-norma melainkan juga pribadi guru, kepala sekolah serta seluruh pegawai sekolah.
7.      Edward A, Krug dalam secondary school curriculum (1960) menunjukan pendirian yang terbatas tapi realities tentang kurikulum, kurikulum dilihatnya sebagai cita-cita dan usaha untuk mencapai tujuan persekolahan. Ia membedakan tugas sekolah mengenai perkembangan anak dan tanggung jawab lembaga pendidikan lainnya seperti rumah tangga, lembaga agama, masyarakat, dan lain-lainnya.
Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita tinjau dari segi lain, sehingga kita peroleh penggolongan sebagai bertikut:
1)      Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya para pengembangan kurikulum, biasanya dalam suatu panitia.
2)      Kurikulum yang pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya.
3)      Kurikulum dapat pula dipamdang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu.
4)      Kurikulum sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan di atas berkenaan dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan ini mengenai apa yang secara  actual menjadi kenyataan pada setial siswa.
B. Program Kurikulum Pendidikan
1. Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.
2. Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.
3. Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.
6. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.
7. Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)
8. KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR).
C. Konsep Kurikulum
Konsep kurikulum yakni: kurikulum Humanistik, kurikulum rekontruksi sosial kurikulum teknologi, dan kurikulum subyek akademis.
Tetapi pada pembahasan ini lebih ditonjolkan pada pembahasan kurikulum humanistik dan rekontruksi sosial.
1. Kurikulum Humanistik
Kurikulum Humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistic. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi. Dalam pandangan humanisme, kurikulum sebagai sesuatu yang dapat menunjang perkembangan anak dalam aspek memenuhi kebutuhan individu untuk mencapai integrafi perkembangan dalam menuju aktualisasi diri.
Kurikulum Humanistik menitik beratkan pada pendidikan yang integrative antara aspek afektif  (emosi, sikap, dan nilai) dengan aspek kognitif (pengetahuan dan kecakapan intelektual) atau menambah aspek emosional ke dalam kurikulum yang berorientasi pada subyek metter (mata pelajaran). Pendidikan humanistic menekankan peranan siswa. Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif dan mendorong siswa untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendir atau bagaimana merasakan atua bersikap terhadap sesuatu.
Aliran yang termasuk dalam pendidikan humanistic yaitu pendidikan konfluen, kritikisme radikal dan mistikisme modern.
a.       Pendidikan konfluen
Pendidikan yang memandang anak sebagai satu keseluruhan diri. Pendidikan konfluen kurang menekankan pengetahuan yang mengandung segi efektif. Menurut mereka kurikulum tidak menyiapkan pendidikan tentang sikap perasaan dan nilai yang harus dimiliki murid.
  • Ciri-ciri kurikulum konkluen:
1.      Partisipasi => partisipasi dalam belajar
2.      Integrasi => interaksi dari pemikiran perasaan dan juga tindakan
3.      Relavansi => keterkaitan
4.      pribadi anak (self) => memberi tempat utama pada anak
5.      Tujuan => mengembangkan pribadi yang utuh yang serasi baik di dalam dirinya maupun dengan lingkungannya.
Kurikulum konfluen menyatukan pengetahuan abyektif dan subyektif berhubungan dengan kehidupan siswa dan bermanfaat baik bagi individu maupun masyarakat.
  • Metode-metode belajar konfluen
Dalam kurikulum konfluen telah disusun kurikulum untuk berbagai bidang pengajaran mencakup tujuan, topic yang akan dipelajari, alat-alat pelajaran dan buku teks yang tersusun dalam bentuk rencana-rencana pelajaran. Unit-unit pelajaran yang telah dujicobakan kebanyakkan bahan ini dengan teknik afektif.
Teknik kofluen di antaranya: dyads yang merupakan latihan komunikasi afektif antara 2 orang, fantasi body trips merupakan pemahaman tentang badan dan diri individu, ritual, suatu kegiatan untuk menciptakan kebiasaan, kegiatan/ritual baru.
b.      Pendidikan kritikisme radikal
Pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak mengembangkan sendiri potensi yang dimiliki. Bersumber dari aliran naturalisme/ romantisme rousseau.
Dalam pendidikan ini tidak ada pemaksaan yang ada adalah dorongan dan rangsangan untuk berkembang.
c.       Mistikisme modern
Aliran yang menekankan pada latihan dan pengembangan kepekaan perasaan, kehalusan budi pekerti melalui sensitivity training, yoga, dan meditasi.
2. Karakteristik Kurikulum Humanistik
a.       Tujuan
Fungsi kurikulum memberikan pengalaman kepada setiap siswa untuk menunjang secara intrinsik tercapainya perkembangan dan kemerolekaan pribadi.
Tujuan pendidikan sebagai proses dinamika pribadi yang berhubungan dengan integrasi dan otonomi pribadi yang ideal. Aktualisasi diri merupakan inti kurikulum humanistik, artinya perwujudan diri yang ideal sebagai suatu kebutuhan.
b.      Metode
Kurikulum humanistic menuntut hubungan emosiaonal antara guru dengan anak didik melalui suasana belajar yang menyenangkan. Materi pelajaran hendaknya merangsang anak belajar sedangkan guru mendorong para siswa untuk saling mempercayai dalam proses.
c.       Organisasi
Salah satu kekuatan besar kurikulum humanistik adalah terletak dalam integrasi, yang artinya pencapaian kesatuan tingkah laku anak didik baik emosi pikiran dan tindakan. Organisasi bertujuan untuk mengatasi kelemahan kurikulum tradisional yang berorientasi pada materi yang gagal dalam menghubungankan psikologi anak.
d.      Evaluasi
Kurikulum konvensional bertujuan sebagai kriteria hasil belajar. Kurikulum humanistik lebih mengutamakan proses dari pada hasil artinya apakah aktifitas belajar yang dapat membantu anak didik menjadi manusia yang lebih terbuka dan mandiri.
3. Kurikulum Rekontruksi Sosial
Kurikulum rekontruksi sosial lebih memusatkan perhatian pada problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan interaksional. Menurut  mereka pendidikan bukan upaya sendiri melainkan, kegiatan bersama, interaksi, kerjasama, kerjasama. Kerjasama atau interaksi bukan hanya terjadi antara siswa dengan guru tetap juga antara siswa dengan siswa, siswa dengan orang dilingkungannya dan dengan sumber belajar lainnya. Melalui kerjasama dan interaksi ini siswa berusa memecahkan problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju masyarakat yang lebih baik.
Para ahli rekontruksi sosial memandang kurikulum harus mampu menolong membantu siswa untuk menyesuaikan diri dengan masyarakatnya dengan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan perubahan sosial. Kurikulum ini lebih menekankan kepentingan individu dalam perubahan sosial.
Mereka ingin menyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat memuat warganya seperti yang ada sekarang dan bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan pribadi warganya melalui kosensus sosial. Perubahan sosial tersebut harus dicapai melalui prosedur demokrasi.
Para rekontruksianis sosial menentan intimidasi, menakut-nakuti dan kompromi semu. Mereka mendorong agar para siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak dan kerja sama atau bergotong royong untuk memecahkannya.
a.       Desain kurikulum rekontruksi sosial
Ada beberapa ciri desain kurikulum:
1)      Asumsi
Tujuan utama kurikulum rekontruksi sosial adalah menhadapkan para siswa pada tantangan, ancaman hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi manusia. Tantangan-tantangan, ancaman-ancaman tersebut yang perlu didekati dalam bidang ekonomi, sosiologi psikologi dan lain-lain.
2)      Masalah-masalah sosial yang mendesak
Merupakan pemusatan kegiatan belajar yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan. Misalnya, dapatkah kehidupan seperti sekarang ini memberikan kekuatan untuk menghadapi ancaman-ancaman yang akan mengganggu integritas kemanusiaan?
Pertanyaan tersebut mengundang pengungkapan lebih mendalam bukan saja dibuku-buku melainkan yang dari kehidupan nyata dalam masyarakat.
3)      Pola-pola organisasi
Pada tingkat sekolah menengah pola organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda. Ditengahnya merupakan masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno. Dari tema dijabarkan sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi.
b.      Karakteristik Kurikulum Rekontruksi Sosial
1)      Tujuan
Tujuan utama kurikulum ini adalah untuk menghadapkan anak didik dengan tantangan-tantangan hidup yang dihadapi manusia.
Isi kurikulum diharapkan memberikan bekal kepada anak didik agar mampu menghadapi tantangan kemanusiaan.
2)      Metode
Guru dapat membantu anak didiknya untuk menemukan minatnya dan para membuat kurikulum menghubungkan tujuan nasional/tujuan dunia dengan tujuan anak didik.
Dengan begitu, anak didik dapat menggunakan minatnya untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
3)      Evaluasi
Ditujukan kepada penilaiana terhadap kecakapan anak-anak didik dalam menghadapi tujuan-tujuan kualitatif kurikulum rekontruksi sosial. Bentuk evaluasi yang lebih ketat yakni ujian komprehansip yang diadakan akhirnya tahun ajaran yang bertujuan untuk mensistensakan dan melihat keseluruhan pengetahuan, ketrampilan dan sikap selama masih belajar.
4)      Pelaksanaan pengajaran rekontruksi sosial
Dilaksanakan di daerah-daerah yang tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan pengajaran ini diarahakan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai dengan pontensi yang ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi tersebut dengan bantuan biaya dari pemerintah sekolah berusaha mengembangkan  potensi tersebut.
Para ahli kurikulum menyarankan agar isi kurikulum difokuskan pada penggalian-penggalian sumber-sumber alam dan bukan alam, populasi kesejahteraan masyarakat dan lain-lain.
4. Kurikulum Tradisional Atau Progresif
Menjalankan kurikulum tradisional atau progresif akan banyak mendapat tantangan, antara lain dari pihak guru yang dikenal karena sikap koservatifnya, juga orang tua yang mengecap pendidikan tradisional dan merasakan manfaatnya.
Menganut kurikulum tradisional berpegang pada kurikulum yang di dasarkan atas subyek atau mata pelajaran yang biasanya diberikan secara terpisah-pisah. Bahan mata pelajaran di ambil dari berbagai disiplin ilmu yang dibina dan senantiasa dikembangkan para ilmuwan dank arena itu mendapat penghargaan  tinggi dari masyarakat.
Penganut kurikulum progresif atau modern tidak menolak ilmu, akan tetapi tidak dipelajari demi ilmu itu sendiri, akan tetapi untuk dipergunakan dalam memecahkan suatu masalah. Sambil memecahkan masalah siswa mengumpulkan ilmu yang diperlukan.
Kurikulum tradisional menyamaratakan semua siswa baik mengenai bahan, metode belajar-mengajar, maupun evaluasi. Kurikulum progresif memperhatikan bahkan membantu perkembangan keunikan individu. Kurikulum tradisional menerima kenyataan dalam masyarakat sebagaimana adanya, sedangkan kurikulum progresif berusaha untuk mengubah lingkungan untuk membentuk dunia yang lebih baik.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Di Indonesia istilah “kurikulum” boleh dikatakan baru menjadi popular sejak tahun lima puluhan yang dipopulerkan oleh mereka yang memperoleh pendidikan di America serikat.
Program Kurikulum Pendidikan ada beberapa pereode antara lain; Rencana Pelajaran 1947, Rencana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004, KTSP 2006.
Kurikulum Humanistik adalah kurikulum yang menitik beratkan pada pendidikan yang integrative antara aspek afektif dengan aspek kognitif atau menambahkan aspek emosional ke dalam kurikulum pada mata pelajaran. Kurikulum rekontruksi sosial kurikulum yang memusatkan perhatian pada masalah yang dihadapi masyarakat yang bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan sosial. Lebih menekankan kepentingan individu dalam perubahan sosial.
Daftar Pustaka
Syarief. A. Hamid. Pengembangan Kurikulum, Pasuruan: Bauna Indah, 1993 .
Sukmadinata, Nana Syaadih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1997.